Posted in

Perjalanan Sejarah Puisi Modern Korea

Puisi merupakan salah satu bentuk ekspresi sastra yang telah lama mengakar dalam budaya Korea. Dari bentuk tradisional seperti hyangga, sijo, dan gasa, puisi Korea mengalami transformasi besar ketika memasuki era modern. Perjalanan puisi modern Korea mencerminkan dinamika sejarah, sosial, dan politik yang dialami bangsa Korea sepanjang abad ke-20 hingga sekarang. Artikel ini akan menelusuri jejak sejarah puisi modern Korea, mulai dari kelahirannya hingga perkembangannya di era kontemporer.

Awal Mula: Peralihan dari Tradisional ke Modern

Puisi modern Korea mulai muncul pada awal abad ke-20, tepatnya pada masa penjajahan Jepang (1910–1945). Masa ini menandai titik balik dalam sejarah sastra Korea, di mana tradisi puisi klasik mulai ditinggalkan dan digantikan oleh bentuk-bentuk baru yang dipengaruhi oleh gaya Barat.

Tokoh penting dalam masa peralihan ini adalah Choe Nam-seon, yang pada tahun 1908 menerbitkan puisi “From the Sea to a Boy”. Puisi ini dianggap sebagai salah satu karya puisi modern pertama Korea karena penggunaan gaya bebas dan tematik yang berbeda dari puisi klasik. Bersama dengan Choe Nam-seon, Yi Sang-hwa dan Kim So-wol juga berperan penting dalam memodernisasi puisi Korea. Kim So-wol, dengan karyanya Azalea, menggabungkan rasa sentimental tradisional dengan bentuk puisi modern yang lebih bebas.

Masa Penjajahan Jepang: Simbolisme dan Nasionalisme

Selama penjajahan Jepang, puisi menjadi sarana perlawanan simbolis terhadap penindasan kolonial. Banyak penyair mengekspresikan penderitaan, kerinduan akan kemerdekaan, dan identitas nasional dalam karya-karya mereka. Gaya simbolisme dan impresionisme mendominasi puisi pada masa ini.

Yun Dong-ju adalah salah satu penyair paling terkenal dari masa ini. Puisinya yang sederhana namun penuh makna, seperti Foreword dan Sky, Wind, Star, and Poem, menyuarakan harapan, ketulusan, dan penderitaan rakyat Korea di bawah kolonialisme. Tragisnya, Yun meninggal dalam penjara Jepang pada usia muda, dan puisinya menjadi simbol semangat patriotisme yang mendalam.

Pasca-Kemerdekaan dan Perang Korea

Setelah kemerdekaan Korea pada tahun 1945, dunia sastra Korea memasuki babak baru yang tidak kalah penuh gejolak. Perang Korea (1950–1953) menyebabkan trauma besar bagi rakyat Korea dan tercermin kuat dalam karya-karya puisi masa itu. Tema kesedihan, kehilangan, kehancuran, dan harapan menjadi ciri utama.

Penyair seperti Seo Jeong-ju (alias Midang), Park Mok-wol, dan Cho Chi-hun menulis puisi yang mengangkat kembali nilai-nilai spiritual dan hubungan manusia dengan alam sebagai pelarian dari kekacauan dunia nyata. Gaya penulisan mereka cenderung kontemplatif, menggabungkan tradisi Timur dan sensibilitas modern.

Era Industrialisasi dan Demokratisasi

Tahun 1960-an hingga 1980-an merupakan periode penting dalam sejarah Korea, ditandai dengan industrialisasi cepat, pemerintahan otoriter, dan gerakan prodemokrasi. Puisi menjadi alat ekspresi sosial dan politik, serta medium protes terhadap ketidakadilan.

Penyair seperti Kim Ji-ha menjadi simbol gerakan sastra yang berpihak kepada rakyat. Puisinya menggabungkan kritik sosial dengan bentuk-bentuk puisi tradisional Korea, seperti pansori. Akibat puisinya yang vokal terhadap rezim militer, Kim Ji-ha sempat dipenjara dan dilarang menerbitkan karya.

Era Kontemporer: Keragaman dan Globalisasi

Memasuki akhir abad ke-20 hingga abad ke-21, puisi Korea menunjukkan keragaman yang luar biasa. Tema yang diangkat semakin luas, mulai dari isu gender, lingkungan, identitas, urbanisasi, hingga alienasi di tengah masyarakat modern.

Penyair kontemporer seperti Ko Un, yang pernah dinominasikan untuk Nobel Sastra, membawa puisi Korea ke panggung global. Karya-karyanya seperti Ten Thousand Lives mencerminkan perjalanan spiritual dan intelektual yang mendalam. Di sisi lain, penyair muda saat ini juga mengeksplorasi media digital, puisi visual, dan eksperimental, mencerminkan semangat zaman yang terus berubah.

Penutup

Perjalanan sejarah puisi modern Korea adalah cermin dari sejarah bangsanya—penuh penderitaan, harapan, perjuangan, dan transformasi. Dari masa kolonial hingga era digital, puisi tetap menjadi medium penting bagi masyarakat Korea untuk memahami diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Dengan akar tradisional yang kuat dan semangat pembaruan yang terus hidup, puisi Korea akan terus berkembang dan memberi warna dalam sastra dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *