Munculnya ChatGPT membuat dunia sedang ramai memperbincangkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence. Melihat kembali tonggak-tonggak perkembangan AI dapat membantu kita untuk memahami mengapa dan bagaimana teknologi ini hadir di tengah kehidupan manusia.
Imajinasi manusia terkait dengan konsep artificial intelligence (AI) dapat ditelusuri hingga zaman Yunani Kuno, sekitar 2.700 tahun yang lalu. Dalam kisah mitologi Yunani, diceritakan Dewa Hephaestus membuat sebuah patung perunggu manusia raksasa yang diberi nama Talos. Patung tersebut kemudian diberi kecerdasan dan jiwa, disebut ichor, yang membuatnya menjadi hidup. Ribuan tahun imaji tentang AI berkelindan di ranah fiksi.
Baru pada dekade 1950-an AI mulai dapat diwujudkan. Mewujudnya AI salah satunya dirintis oleh Alan Turing, seorang matematikawan Inggris. Turing berusaha menjawab pertanyaan ”apakah mesin bisa berpikir”. Pertanyaan itu lantas membawanya pada penemuan uji kemampuan mesin dalam meniru kecerdasan manusia, yang kemudian disebut sebagai Turing Test.
Inti dari uji tersebut adalah, apabila sebuah teknologi dapat lulus Turing Test, teknologi tersebut dapat dianggap memiliki kecerdasan setara manusia. Metode uji ini hingga kini menjadi landasan teoretis bagi banyak ilmuwan selanjutnya dalam menciptakan teknologi AI.
Geliat ilmuwan menciptakan AI semakin terasa dengan diciptakannya program ”Logic Theorist” oleh Allen Newell, Herbert A Simon, dan Cliff Shaw pada 1955. Program tersebut dirancang untuk dapat membuktikan teori-teori dalam Principia Mathematica. Banyak pihak mengakui bahwa trio ilmuwan tersebut telah melakukan hal yang sampai saat itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun, yaitu menciptakan mesin yang bisa berpikir.
Setahun kemudian, pada 1956, John McCarthy, Marvin Minsky, dan sejumlah ilmuwan komputer Amerika Serikat lainnya mengadakan konferensi di Darmouth, New Hampshire. Dalam konferensi tersebut, McCarthy mengajukan istilah artificial intelligence untuk menyebut bidang ilmu baru tentang kecerdasan buatan. Karena signifikansinya, Konferensi Darmouth dianggap oleh banyak pihak sebagai momentum kelahiran AI.
Akselerasi inovasi
Jejak perkembangan AI mulai menemukan momentumnya pada dekade 1960-1970-an. Sejumlah inovasi berhasil diciptakan oleh para ilmuwan komputer. Salah satunya adalah ELIZA, chatbot pertama di dunia, oleh Josep Weizenbaum. Chatbot ini digadang-gadang menjadi terobosan terbaru AI karena mampu memahami bahasa manusia dan memberikan respons yang sesuai.
Namun, ternyata penemuan ELIZA menghadapkan manusia pada tantangan terbesar selanjutnya. Belum ditemukannya teknologi yang mampu menyimpan memori dan mengaksesnya dalam skala besar dan cepat menghambat pengembangan AI. Akibatnya, perkembangan teknologi AI sempat melambat selama satu dekade lebih.
Gairah pengembangan AI baru kembali terasa pada medio 1980-an. John Hopfield dan David Rumelhart berhasil mengenalkan teknik deep learning yang memungkinkan komputer untuk belajar berdasarkan pengalaman. Teknik ini kemudian diaplikasikan dalam teknologi Expert System yang pertama kali diperkenalkan oleh Edward Fingenbaum.
Expert System dirancang untuk dapat mempelajari semua keputusan yang dilakukan oleh seorang ahli di bidang tertentu. Setelah mempelajarinya, ia dapat memberikan arahan atau jawaban apabila diberikan pertanyaan permasalahan pada bidang tersebut. Teknologi ini mendapat tanggapan positif di bidang kesehatan, keuangan, hingga militer karena bisa membantu manusia memecahkan sejumlah persoalan.
Momen monumental pengembangan AI selanjutnya terjadi pada tahun 1997. Pada tahun tersebut, program AI bernama Deep Blue dari IBM berhasil mengalahkan juara dunia catur, Garry Kasparov, dalam sebuah pertandingan catur. Kemenangan Deep Blue menuai kehebohan di penjuru dunia karena menyadarkan publik bahwa ada potensi AI dapat mengalahkan manusia.
Kemampuan AI dalam mengalahkan manusia dalam permainan terjadi lagi sepuluh tahun kemudian. Pada 2016—2017, AlphaGo dari Google DeepMind berhasil mengalahkan pemain profesional dalam 60 permainan Go berturut-turut. Padahal, permainan catur tradisional dari China ini terkenal atas kerumitannya. Laman resmi AlphaGo menyebutkan, terdapat 10 pangkat 170 kemungkinan dalam permainan ini, lebih banyak daripada jumlah atom di alam semesta yang diketahui sejauh ini.
Perkembangan terkini
AI juga mengalami lonjakan teknologi dalam kemampuan memahami bahasa manusia. Hal ini dibantu oleh ledakan popularitas smartphone oleh pada medio 2010-an. Ini karena para produsen menyertakan program asisten pribadi digital yang dikenal dengan berbagai nama, seperti Siri dari Apple, Google Assistant dari Google, Cortana dari Microsoft, dan Alexa dari Amazon. Program tersebut memungkinkan pengguna mengatur jadwal, mengirim pesan, membuka situs, atau menyetel alarm hanya berdasarkan perintah suara.
Ambisi untuk menyempurnakan kemampuan AI dalam memproses bahasa manusia semakin nyata terwujud pada 2020. Pada tahun tersebut, Open AI, sebuah perusahaan rintisan yang fokus di bidang pengembangan AI, mengumumkan rilis GPT-3. Teknologi tersebut adalah model bahasa yang diklaim tidak hanya mampu memahami bahasa manusia, tetapi juga memberikan respons balik nyaris sempurna seperti manusia.
Teknologi ini menjadi batu lompatan pengembangan generative AI, yaitu teknologi kecerdasan buatan yang dapat menciptakan sesuatu berdasarkan perintah. Beberapa yang populer adalah ChatGPT yang mampu menulis esai atau puisi, Dall-E yang dapat menciptakan lukisan atau foto, dan Jukebox yang bisa mengaransemen musik. Program-program ini memukau publik karena hasil yang diberikan sangat sulit dibedakan dengan karya yang dihasilkan manusia.
Dengan lompatan-lompatan teknologi tersebut, eksistensi manusia seperti dipertanyakan kembali. Apakah AI dapat menggantikan peran manusia di dunia ini? Sejauh ini, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak. Ini karena, meskipun mampu mengalahkan juara dunia atau menciptakan karya seni yang indah, pengembangan teknologi AI masih berkutat di ranah artificial narrow intelligence. Artinya, kemampuan AI hanya terbatas di tugas-tugas repetitif tertentu. AI belum mampu memahami dunia beserta isinya sama seperti manusia.
Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Lukas, Ketua Indonesia AI Society, dalam webinar ”AI dan Fotografi” pada 14 Februari 2023 lalu, AI pada masa ini masih bersifat mempermudah manusia dalam menjalankan pekerjaannya. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengembangan AI saat ini sedang mendapatkan momentumnya. Manusia perlu cermat dalam mengamati kemajuan kemampuan AI. Bukan tidak mungkin para insinyur dan ilmuwan komputer menemukan terobosan sehingga AI dapat melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan manusia.
Ketika hal tersebut terjadi, era pengembangan AI akan memasuki artificial general intelligence. Pada saat tersebutlah manusia perlu waspada karena AI secara harfiah sudah sama seperti manusia seutuhnya dari segi kecerdasan. Peran manusia dalam berbagai bidang pekerjaan pun menjadi terancam karena AI tidak mengenal kata lelah. Ia dapat melakukan segala sesuatu secara terus-menerus tanpa perlu beristirahat.
Mencermati tonggak-tonggak sejarah perkembangan AI, dalam setiap fase perkembangan teknologi selalu terjadi relasi sebab dan akibat sedemikian rupa. Untuk menjaga relasi keseimbangan tersebut, kemajuan teknologi harus diimbangi dengan adaptasi menjadi manusia cerdas sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang terus berkembang dan berinovasi.